Perbedaan Penulisan Mushaf Al-Qur’an Cetak
Hikmah dibalik viralnya video unggahan Al-Qur’an yang
dianggap salah dan menyesatkan karena ditulis menggunakan sistem penulisan yang
berbeda dengan yang kita kenal, ialah menjadikan kita semua semakin tahu bahwa memang
terdapat perbedaan sistem penulisan diantara Mushaf Al-Qur’an cetak yang ada di
sekitar kita.
Tapi perlu kita ketahui bahwa perbedaan penulisan tersebut
kesemuanya adalah benar. Mushaf Al-Qur’an Indonesia, Mushaf Al-Qur’an Madinah,
Mushaf Al-Qur’an Libya, Mushaf Al-Qur’an Maroko, Mushaf Al-Qur’an Turki, dan
Mushaf Al-Qur’an dari belahan negara yang lainnya, kesemuanya dengan segala
perbedaannya adalah benar sesuai dengan sistem penulisan yang diikuti
masing-masing.
Kita akan memulai membahas letak perbedaan penulisan Mushaf
Al-Qur’an dari definisi Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia.
Apa itu Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia, ialah: Mushaf
Al-Qur’an yang dibakukan cara penulisan, harakat, tanda baca dan tanda
waqaf-nya, sesuai dengan hasil yang dicapai dalam Musyawarah Kerja (Muker)
Ulama Ahli Al-Qur’an I s.d. IX, dari tahun 1974 s/d. 1983 dan dijadikan sebagai
pedoman bagi Al-Qur’an yang diterbitkan di Indonesia.”
Dari definisi tersebut, kita bisa mengetahui bahwa terdapat
4 hal perbedaan dalam Mushaf Al-Qur’an. Pertama, sistem penulisan (Rasm
Al-Qur’an). Kedua, sistem harakat (asy-Syakl). Ketiga, sistem tanda
baca (adh-Dhabt). Dan keempat, tanda waqaf (al-Waqf).
Keempat perbedaan tersebut ialah perbedaan yang melekat pada
penulisan teks Al-Qur’an. Memang ada pula perbedaan lain yang tidak melekat
secara langsung dengan penulisan teks ayat Al-Qur’an, seperti perbedaan
hitungan ayat, perbedaan pembagian Al-Qur’an, perbedaan penentuan awal juz,
perbedaan penamaan surah, perbedaan penentuan makki-madani, dan perbedaan
desain atau lay out.
Perbedaan Sistem Penulisan
Dalam sistem Penulisan Mushaf Al-Qur’an (Rasm al-Qur’an)
terdapat dua sistem penulisan yang lazim digunakan.
Pertama, sistem penulisan dengan Rasm Qiyasi atau Rasm
Imla’i. Ialah penulisan kata sesuai dengan pelafalan atau bacaannya.
Namun, Penting untuk dicatat, bahwa kata-kata yang
penulisannya sudah masyhur dan baku, seperti Ar-Rahmaan (setelah mim
tanpa alif), As-Salaah, az-Zakaah (alif ditulis dengan wawu), ar-Ribaa
(setelah ba’ berupa wawu dan alif), dan beberapa kata lainnya, seperti zaalika
(setelah dzal tanpa alif), haa’ulaa’i (setelah ha’ nida’ tanpa
alif), maka penulisannya tetap sebagaimana tulisan yang masyhur, sehingga tidak
berbeda dengan Mushaf yang ditulis dengan Rasm Usmani.
Jadi, yang dituliskan dengan menggunakan Rasm Qiyasi ialah
terhadap kata-kata yang tidak memiliki tulisan masyhur dan baku. Dengan kata
lain, tidak ada satupun Al-Qur’an yang ditulis seluruhnya dengan rasm qiyasi
atau rasm imla’i. Kita ambil Contoh, Al-Baqarah 2-3. Dalam kedua ayat ini yang
ditulis dengan rasm qiyasi ialah al-kitaabu (setelah ta’ pakai alif) dan
razaqnaahum (setelah nun pakai alif). Sementara zaalika dan As-Salaah
tetap ditulis dengan tulisan yang masyhur yang sama dengan penulisan dengan rasm
usmani.
Adapun Mushaf yang ditulis dengan Rasm Qiyasi atau Imla’i
seperti Mushaf Turki, Mushaf Menara Kudus (Mushaf Turki), dan Mushaf Indonesia
jenis Bahriyyah.
Kedua, Sistem Penulisan
dengan Rasm Usmani, yaitu sistem penulisan Al-Qur’an sebagaimana yang
telah ditulis pada masa Khalifah ketiga, Usman bin Affan, oleh tim yang
dipimpin oleh Sahabat Zaid bin Sabit. Penamaannya dengan Rasm Usmani adalah karena
dinisbahkan kepada khalifah Usman bin Affan sebagai khalifah yang memerintahkan
penulisan kembali Al-Qur’an pada masa itu untuk penyatuan qiraat.
Dalam Rasm Usmani terdapat dua riwayat utama yang diikuti:
1. Riwayat
Abu ‘Amr Ad-Dani, yang lebih dikenal dengan Ad-Dani (w. 444 H) dalam kitab Al-Muqni’
fi Ma’rifati Marsum Masahif Ahl al-Amsar.
2. Riwayat Abu
Dawud Sulaiman bin Najah yang dikenal dengan Abu Dawud (w. 496 H.), dalam Mukhtasar at-Tabyin li
Hija’ at-Tanzil.
Pada umumnya, mushaf-mushaf cetak yang beredar di seluruh
dunia saat ini ditulis menggunakan Rasm Usmani dengan memilih salah satu dari
kedua riwayat Ad-Dani atau Abu Dawud. Mushaf Indonesia, Mushaf Libya, Mushaf
Bombay, dan Mushaf Iran mengikuti riwayat Ad-Dani. Sementara Mushaf Madinah,
Mushaf Mesir, dan Mushaf-mushaf negara lainnya yang merujuk kepada keduanya.
Cakupan
Rasm Usmani
Banyak orang salah memahami Rasm
Usmani. Di antara mereka ada yang memahami bahwa Rasm Usmani hanya satu versi
saja. Padahal seperti dijelaskan di atas, dalam Rasm Usmani terdapat dua
riwayat utama, riwayat ad-Dani dan riwayat Abu Dawud, yang dikenal dengan sebutan
asy-Syaikhani fi ‘ilm ar-Rasm ‘Usmani (Dua ulama yang kredibel dalam
ilmu Rasm Usmani)..
Banyak juga yang salah memahami tentang cakupan Rasm Usmani, dan
mengira bahwa Rasm Usmani meliputi tulisan ayat lengkap dengan harakat dan
tanda bacanya, seperti yang tertulis dalam Mushaf Madinah. Sehingga, dari
kesalahfahaman tersebut, mereka menilai bahwa selain mushaf Madinah, termasuk
Mushaf Indonesia tidak menggunakan
Rasm Usmani.
Lalu, apa yang menjadi cakupan Rasm Usmani? Cakupan
Rasm Usmani ialah hanya pada batang tubuh huruf (jism al-huruf), tanpa titik huruf, harakat,
maupun tanda baca apapun.
Mari kita lihat contoh pada
halaman 3 dalam mushaf cetak
format 15 baris, yang berisi QS. Al-Baqarah 6-16. Perbedaan Rasm Usmani yang
terdapat di dalamnya hanya pada 4 kata, Absaarihim, gisyaawatun
ayat 7, thugyaanihim ayat 15, dan tijaaratuhum ayat 16. Yang
mengikuti rawayat Ad-Dani menuliskan keempat kata tersebut menggunakan alif
untuk bacaan panjang, sementara yang memilih riwayat Abu Dawud menuliskannya
tanpa alif.
Jadi, dari sisi Rasm Usmani
perbedaan antara mushaf Indonesia yang memilih riwayat Ad-Dani, dan Mushaf
Madinah yang memilih riwayat Abu Dawud, relatif sedikit. Perbedaan terbanyak
ialah pada sistem harakat dan sistem tanda baca yang digunakan.
Perbedaan Sistem Harakat dan Tanda Baca
Perbedaan kedua dan ketiga, ialah perbedaan sistem harakat
dan tanda baca. Kita membahas keduanya bersamaan, karena keduanya saling
terkait. Harakat meliputi fathah, dammah, kasrah, fathatain, dammatain, dan
kasratain. Sementara tanda baca meliputi, tanda mad, tanda bacaan tajwid,
kepala hamzah.
Untuk menyederhanakan penjelasan, kita akan membandingkan
antara dua Mushaf, Mushaf Indonesia dan Mushaf Madinah. Hampir setiap baris
terdapat perbedaan antara kedua mushaf ini.
Sistem harakat dalam Mushaf Madinah tidak mengenal harakat
panjang, sehingga untuk kata-kata yang mengandung bacaan panjang yang
penulisannya dalam rasm usmani dengan membuang huruf mad, maka dituliskanlah
alif kecil setelah fathah, ya’ kecil setelah kasrah, dan wawu kecil setelah
dammah. Sementara dalam Mushaf Indonesia cukup dengan satu tanda, dengan fathah
berdiri, kasrah berdiri, dan dammah terbalik.
Sistem tanda baca untuk hamzah qata’, dalam Mushaf Madinah
diberi kepala hamzah. Hamzah wasal, diberi tanda berbentuk seperti sad. Adapun dalam
Mushaf Indonesia, baik hamzah qata’ maupun hamzah wasal tidak diberikan tanda.
Untuk bacaan panjang pada alif, maka Mushaf Madinah
menambahkan kepala hamzah yang diberi fathah sebelum huruf alif, sementara
Mushaf Indonesia cukup memberikan fathah berdiri di atas alif yang merupakan hamzah.
Di sini terdapat perbedaan, kalau dalam Mushaf Madinah, huruf alif adalah
memang alif, sementara dalam Mushaf Indonesia, alif tersebut hakikatnya memang hamzah
yang ditulis dalam bentuk alif.
Oleh karena itu, kurang tepat jika menilai sistem harakat
dan tanda baca mushaf tertentu lebih benar dibanding yang lain. Masing-masing
memiliki sistem harakat dan tanda baca yang diikuti. Selama mengantarkan kepada
bacaan Al-Qur’an yang benar, maka kesemuanya diperbolehkan dan dibenarkan.
Perbedaan Tanda Waqaf
Diantara kita pasti pernah mendapati beberapa Al-Qur’an
dengan tanda waqaf yang berbeda satu sama lain. Atau pasti kita pernah ditanya
orang terkait tanda waqaf yang berbeda antara Al-Qur’an Madinah dan Al-Qur’an
Indonesia.
Mushaf Madinah memiliki tanda waqaf sejumlah 4.273.
Kesemuanya terdapat di tengah ayat. Karena Mushaf Madinah mengikuti pendapat
bahwa berhenti pada akhir ayat termasuk waqaf hasan, meskipun pada akhir ayat
yang memiliki hubungan yang erat dengan ayat berikutnya.
Mushaf Indonesia memiliki total tanda waqaf sebanyak 7.221,
yang berada di tengah ayat berjumlah 5.074, dan yang terdapat akhir ayat
berjumlah 2.147.
Mushaf Libya memiliki tanda waqaf sejumlah 9.947, di tengah
ayat sebanyak 4.914, dan di akhir ayat sebanyak
5.033.
Baik Mushaf Indonesia maupun Mushaf Libya tetap membubuhkan
tanda waqaf pada akhir ayat. Perbedaannya, Mushaf Indonesia membubuhkan tanda
waqaf pada akhir ayat yang memiliki hubungan dengan ayat berikutnya. Sementara
Mushaf Libya justru membubuhkan tanda waqaf di akhir ayat pada ayat yang tidak
memiliki hubungan dengan ayat berikutnya. Sehinggga jumlah tanda waqaf di akhir
ayat berjumlah dua kali lipat dibandingkan dengan Mushaf Indonesia.
Contoh QS. Al-Baqarah 34: wa idz qulnaa lil malaa’ikatis
juduu li aadama fasajaduu illaa ibliisa abaa was takbara wa kaana minal
kaafiriin.
Mushaf Madinah tanpa tanda waqaf sampai akhir ayat. Mushaf Turki
waqaf pada kata ibliis. Mushaf Libya waqaf pada kata fasajaduu. Mushaf
Indonesia, waqaf pada Ibliis, dan wastakbara. Dalam contoh ini,
perbedaan waqaf tidak menyebabkan perbedaan arti terhadap ayat.
Contoh yang berakibat pada perubahan sedikit terhadap arti
ayat, antara lain terdapat pada QS. Ali ‘Imran 7: huwal ladzii anzala
‘alaikal kitaaba minhu aayaatum muhkamaatun hunna ummul kitaabi wa ukharu
mutasyabihaat.
Mushaf pada umumnya, termasuk Mushaf Indonesia, waqaf pada kata
mutasyabihaat. Sementara Mushaf Libya dan Maroko, waqaf pada kata minhu,
dan kata mutasyaabihaat.
Jika waqaf pada kata mutasyaabihaat, maka arti ayat: Dialah
yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu. Di antaranya ada ayat-ayat yang
muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab dan yang lain mutasyabihat. Damir pada
kata minhu kembali kepada kata al-Kitab.
Namun jika waqaf pada kata minhu, maka damir kembali
kepada Allah, sehingga arti ayat menjadi: Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an)
kepadamu dari sisi-Nya. (Di dalamnya) ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah
pokok-pokok Kitab dan yang lain mutasyabihat.
Mana yang harus diikuti? Kesemuanya boleh diikuti, karena
didasarkan pada referensi dari kitab-kitab waqaf-ibtida’ dan kitab tafsir yang
kredibel. Dan kesemuanya bisa dibenarkan.