Pages

About

Kamis, 25 Oktober 2018

Perbedaan Sistem Penulisan

Perbedaan Penulisan Mushaf Al-Qur’an Cetak (2)
Perbedaan Sistem Penulisan
Sahabat Al-Qur’an. Dalam sistem Penulisan Mushaf Al-Qur’an (Rasm al-Qur’an) terdapat dua sistem penulisan yang lazim digunakan.
Pertama, sistem penulisan dengan Rasm Qiyasi atau Rasm Imla’i. Ialah penulisan kata sesuai dengan pelafalan atau bacaannya.
Namun, Penting untuk dicatat, bahwa kata-kata yang sudah masyhur dan baku, seperti ar-Rahman (الرحمن), as-salah (الصلوة), az-zakah (الزكوة), ar-riba (الربوا), dan beberapa kata lainnya, seperti zalika (ذلك), ha’ula’i (هؤلاء), maka penulisannya tetap sebagaimana tulisan yang masyhur, sehingga tidak berbeda dengan Mushaf yang ditulis dengan Rasm Usmani.
Jadi, yang dituliskan dengan menggunakan Rasm Qiyasi ialah terhadap kata-kata yang tidak memiliki tulisan baku. Dengan kata lain, tidak ada satupun Al-Qur’an yang ditulis seluruhnya dengan rasm qiyasi atau rasm imla’i.
Kita ambil Contoh, Al-Baqarah 2-3. Dalam kedua ayat ini yang ditulis dengan rasm qiyasi ialah (الكتاب) dan (رزقناهم) keduanya ditulis dengan alif setelah Ta’ dan setelah Nun. Sementara (ذلك) dan (الصلوة) tetap ditulis dengan tulisan yang masyhur yang sama dengan penulisan dengan rasm usmani.
Adapun Mushaf yang ditulis dengan Rasm Qiyasi atau Imla’i seperti Mushaf Turki, Mushaf Menara Kudus (Mushaf Turki), dan Mushaf Indonesia jenis Bahriyyah.

Kedua, Sistem Penulisan dengan Rasm Usmani, yaitu sistem penulisan Al-Qur’an sebagaimana yang telah ditulis pada masa Khalifah ketiga, Usman bin Affan, oleh tim yang dipimpin oleh Sahabat Zaid bin Sabit. Penamaannya dengan Rasm Usmani adalah karena dinisbahkan kepada khalifah Usman bin Affan sebagai khalifah yang memerintahkan penulisan kembali Al-Qur’an pada masa itu.
Dalam Rasm Usmani terdapat dua riwayat paling masyhur yang diikuti, yang dikenal dengan sebutan Syaikhani fi ‘ilm ar-Rasm al-‘Usmani (Dua ulama yang kredibel dalam ilmu Rasm Usmani) yaitu:
1. Riwayat Abu ‘Amr Ad-Dani, yang lebih dikenal dengan Ad-Dani (w. 444 H) dalam kitab Al-Muqni’ fi Ma’rifati Marsum Masahif Ahl al-Amsar.
2. Riwayat Abu Dawud Sulaiman bin Najah yang dikenal dengan Abu Dawud (w. 496 H.) dalam Mukhtasar at-Tabyin li Hija’ at-Tanzil.
Kebanyakan Mushaf cetak yang beredar di dunia saat ditulis dengan menggunakan Rasm Usmani. Letak perbedaannya pada pilihan yang riwayat yang diikuti. Mushaf Indonesia, Libya, Bombay, dan Iran mengikuti riwayat Ad-Dani. Sementara Mushaf Madinah, Mesir, dan Mushaf dari beberapa negara lainnya yang merujuk kepada keduanya, mengikuti riwayat Abu Dawud.

Cakupan Rasm Usmani

Perbedaan Penulisan Mushaf Al-Qur’an Cetak (3)
Cakupan Rasm Usmani
Sahabat Al-Qur’an. Banyak orang salah memahami Rasm Usmani. Di antara mereka ada yang memahami bahwa Rasm Usmani hanya satu versi saja. Padahal seperti yang sudah kita bahas, dalam Rasm Usmani terdapat dua riwayat utama, riwayat ad-Dani dan riwayat Abu Dawud.
Banyak juga yang salah memahami tentang cakupan Rasm Usmani. Banyak yang salah faham dan mengira, bahwa Rasm Usmani meliputi tulisan ayat lengkap dengan harakat dan tanda bacanya. Lebih sempit lagi, bahkan ada yang menyimpulkan bahwa Rasm Usmani ialah seperti yang tertulis dalam Mushaf Madinah. Sehingga, dari kesalahfahaman tersebut, mereka menilai bahwa selain mushaf Madinah, termasuk Mushaf Indonesia, tidak menggunakan Rasm Usmani.
Lalu, apa yang sebenarnya menjadi cakupan Rasm Usmani?
Cakupan Rasm Usmani hanya pada penulisan batang tubuh huruf (jism al-harf), tanpa titik huruf, harakat, maupun tanda baca apapun.
Mari kita lihat contoh pada halaman 3 dalam mushaf cetak format 15 baris, yang berisi QS. Al-Baqarah 6-16.
Kalau kita perhatikan, maka perbedaan Rasm yang terdapat di dalamnya hanya pada 4 kata saja, Absaarihim, gisyaawatun (ayat 7, baris ketiga), tugyaanihim (ayat 15, baris keempat belas), dan tijaaratuhum (ayat 16, baris terakhir atau kelima belas).
Jadi, dari sisi Rasm Usmani, perbedaan antara Mushaf Indonesia dan Mushaf Madinah relatif sedikit.
Perbedaan semakin banyak ketika tulisan ayat dilengkapi dengan harakat dan tanda baca. Namun perlu dicatat, bahwa perbedaan dalam memilih sistem harakat dan tanda baca adalah murni ijtihad yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat masing-masing, agar dapat membaca Al-Qur'an dengan mudah dan benar.

Rabu, 24 Oktober 2018

Perbedaan Sistem Harakat dan Tanda Baca

Perbedaan Penulisan Mushaf Al-Qur’an Cetak (4)
Perbedaan Sistem Harakat dan Tanda Baca
Sahabat Al-Qur’an. Perbedaan kedua dan ketiga, ialah perbedaan sistem harakat dan tanda baca, Syakl dan dhabt. Sekilas sudah digambarkan pada diskusi Perbedaan Penulisan Mushaf Al-Qur’an Cetak (3) tentang Cakupan Rasm Usmani. Sudah pada baca belum? he....he....
Kita akan membahas keduanya bersamaan, karena keduanya saling terkait.
Harakat meliputi fathah, dammah, kasrah, fathatain, dammatain, dan kasratain. Sementara tanda baca meliputi, sukun, tanda mad, tanda bacaan tajwid, kepala hamzah, syiddah, dan lain-lain.
Untuk menyederhanakan penjelasan, kita akan membandingkan antara dua Mushaf, Mushaf Indonesia dan Mushaf Madinah. Hampir setiap baris terdapat perbedaan antara kedua mushaf ini.
Sistem harakat: Mushaf Madinah tidak mengenal harakat panjang, maka untuk menunjukkan bacaan panjang dituliskanlah alif kecil setelah fathah, ya’ kecil setelah kasrah, dan wawu kecil setelah dammah. Sementara Mushaf Indonesia, cukup satu simbul, dengan fathah berdiri, kasrah berdiri, dan dammah terbalik.
Sistem tanda baca: Hamzah qata’, dalam Mushaf Madinah diberi kepala hamzah. Hamzah wasal, diberi tanda berbentuk seperti sad. Adapun Mushaf Indonesia terhadap Hamzah Qata’ maupun Hamzah Wasal tidak diberikan tanda.
Untuk bacaan panjang pada Alif, maka Mushaf Madinah menambahkan kepala hamzah yang diberi fathah sebelum huruf Alif, sementara Mushaf Indonesia cukup memberikan fathah berdiri di atas Alif yang merupakan Hamzah. Di sini terdapat perbedaan, kalau dalam Mushaf Madinah, huruf Alif adalah memang Alif, sementara dalam Mushaf Indonesia, Alif tersebut hakikatnya memang Hamzah yang ditulis dalam bentuk Alif.

Mari kita lihat bentuk tulisan berdasarkan Rasm Usmani terhadap dua kata (اﻣﯩﺎ) dan (اﻣﯩﻮا). Sama bukan?
Namun ketika diberikan harakat dan tanda baca, maka akan terlihat perbedaannya. Mushaf Madinah menjadi (ءَامَنَّا) dan (ءَامَنُوا). Sementara Mushaf Indonesia menjadi (اٰمَنَّا) dan (اٰمَنُوْا). Terdapat perbedaan, karena sistem yang digunakan berbeda.
Mana yang benar? Keduanya benar.
Oleh karena itu, kurang tepat jika menilai sistem harakat dan tanda baca mushaf tertentu lebih benar dibanding yang lain. Masing-masing memiliki sistem harakat dan tanda baca yang diikuti. Selama mengantarkan kepada bacaan Al-Qur’an yang benar, maka kesemuanya diperbolehkan dan dibenarkan.

Perbedaan Tanda Waqaf

Perbedaan Penulisan Mushaf Al-Qur’an Cetak (5)
Perbedaan Tanda Waqaf
Sahabat Al-Qur’an. Di antara kita pasti pernah mendapati beberapa Mushaf dengan tanda waqaf yang berbeda satu sama lain. Atau pasti kita pernah ditanya orang, terkait tanda waqaf yang berbeda antara Mushaf Madinah dan Mushaf Indonesia.
Memang terdapat perbedaan tanda waqaf di antara mushaf yang ada di dunia saat ini.
Mushaf Madinah memiliki tanda waqaf sejumlah 4.273. Kesemuanya terdapat di tengah ayat. Karena Mushaf Madinah mengikuti pendapat bahwa berhenti pada akhir ayat termasuk waqaf hasan, meskipun pada akhir ayat yang memiliki hubungan yang erat dengan ayat berikutnya.
Mushaf Indonesia memiliki total tanda waqaf sebanyak 7.221, dengan rincian yang berada di tengah ayat berjumlah 5.074, dan yang terdapat pada akhir ayat berjumlah 2.147.
Mushaf Libya memiliki tanda waqaf sejumlah 9.947, di tengah ayat sebanyak 4.914, dan di akhir ayat sebanyak 5.033.
Baik Mushaf Indonesia maupun Mushaf Libya tetap membubuhkan tanda waqaf pada akhir ayat. Perbedaannya, Mushaf Indonesia membubuhkan tanda waqaf pada akhir ayat yang memiliki hubungan dengan ayat berikutnya. Sementara Mushaf Libya justru membubuhkan tanda waqaf di akhir ayat pada ayat yang tidak memiliki hubungan dengan ayat berikutnya. Sehinggga jumlah tanda waqaf di akhir ayat berjumlah dua kali lipat dibandingkan dengan Mushaf Indonesia.
Contoh QS. Al-Baqarah 34: wa idz qulnaa lil malaa’ikatis juduu li aadama fasajaduu illaa
ibliisa abaa was takbara wa kaana minal kaafiriin.
Mushaf Madinah tanpa tanda waqaf sampai akhir ayat. Mushaf Turki waqaf pada kata ibliis. Mushaf Libya waqaf pada kata fasajaduu. Mushaf Indonesia, waqaf pada Ibliis, dan wastakbara. Dalam contoh ini, perbedaan waqaf tidak menyebabkan perbedaan arti terhadap ayat.
Contoh yang berakibat pada perubahan sedikit terhadap arti ayat, antara lain terdapat pada QS. Ali ‘Imran 7: huwal ladzii anzala ‘alaikal kitaaba minhu aayaatum muhkamaatun hunna ummul kitaabi wa ukharu mutasyabihaat.
Mushaf pada umumnya, termasuk Mushaf Indonesia, waqaf pada kata 'mutasyabihaat'. Sementara Mushaf Libya dan Maroko, waqaf pada kata 'minhu', dan kata 'mutasyaabihaat'.
Jika waqaf pada kata 'mutasyaabihaat', maka damir pada kata 'minhu' kembali kepada kata 'al-Kitaab', dan arti ayat: Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu. Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab dan yang lain mutasyabihat.
Namun jika waqaf pada kata 'minhu', maka damir kembali kepada Allah, sehingga arti ayat menjadi: Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu dari sisi-Nya. (Di dalamnya) ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab dan yang lain mutasyabihat.
Mana yang harus diikuti? Kesemuanya boleh diikuti, karena didasarkan pada referensi dari
kitab-kitab waqaf-ibtida’ dan kitab-kitab tafsir yang kredibel. Dan kesemuanya bisa dibenarkan.
Jadi jangan bingung ya…… Nah, bagi kita yang belum memahami arti dan kandungan ayat Al-Qur'an, lebih baik ikuti saja waqaf pada mushaf yang sedang digunakan.

Selasa, 23 Oktober 2018

Jumlah Ayat Al-Qur'an


Dalam menghitung ayat Al-Qur'an, beberapa ulama memiliki perbedaan cara dalam menghitungnya. Paling tidak terdapat 7 mazhab yang diikuti dalam menghitung jumlah ayat Al-Qur'an. Kesemuanya sepakat tentang bilangan ayat Al-Qur’an sebanyak 6.200 ayat, namun untuk jumlah selebihnya terjadi perbedaan di antara mereka.
Tujuh Mazhab dalam penghitungan ayat Al-Qur’an, ialah:
  1. Al-Madani Al-Awwal. Ayat Al-Qur’an berjumlah 6.217 atau 6.214. Dalam beberapa versi cetak yang banyak diikuti jumlah yang kedua 6.214.
  2. Al-Madani al-Akhir. Ayat Al-Qur’an berjumlah 6.214. Meskipun terdapat kesamaan hitungan jumlah ayat Al-Qur’an dengan pendapat kedua Al-Madani al-Awwal, namun tetap terdapat perbedaan antara keduanya dalam perincian penentuan ayat.
  3. Al-Makki. Ayat Al-Qur’an berjumlah 6.220.
  4. Asy-Syami. Ayat Al-Qur’an berjumlah 6.226.
  5. Al-Kufi. Ayat Al-Qur’an berjumlah 6.236. Hitungan Al-Kufi inilah yang diikuti oleh cetaka Al-Qur’an di Indonesia, dan seluruh cetakan Al-Qur’an di dunia yang menggunakan riwayat Hafs dari Imam ‘Asim.
  6.  Al-Basri. Ayat Al-Qur’an berjumlah 6.205.
  7.  Al-Himsi. Ayat Al-Qur’an berjumlah 6.232.

Dalam cetakan Al-Qur’an yang ada di seluruh dunia saat ini, kita masih dapat menjumpai penggunaan hitungan ayat menurut dari 5 mazhab, Al-Madani Al-Awwal, Al-Madani Al-Akhir, Al-Makki, Asy-Syami, dan Al-Kufi. Sementara untuk al-Basri dan Al-Himsi, penulis belum menemukan.  


Apa Sebab terjadi perbedaan dalam menghitung ayat Al-Qur’an?
Adanya perbedaan dalam menghitung jumlah ayat Al-Qur’an tidak berarti bahwa yang menghitung lebih banyak telah menambahi ayat Al-Qur’an, atau sebaliknya yang menghitung lebih sedikit telah mengurangi ayat Al-Qur’an, bukan demikian. Namun, perbedaan tersebut disebabkan oleh cara penghitungan yang berbeda dari masing-masing mazhab.
Penghitungan ayat Al-Qur’an didasarkan dari bacaan Rasulullah saw yang didengar oleh para Sahabat Nabi, lalu bacaan tersebut diajarkan secara estafet oleh para sahabat kepada generasi berikutnya. Dalam hal mendengar bacaan Nabi, ketika Nabi berhenti pada beberapa kata tertentu, muncullah perbedaan pemahaman di antara yang mendengarkan, apakah Nabi sekedar waqaf, atau berhentinya tersebut disebabkan karena akhir ayat. Di sinilah letak perbedaannya.
Kita ambil contoh sederhana, ketika Rasulullah membaca: alif lam mim, zalikal kitabu la raiba fih, hudal lilmuttaqin. Apakah ketika berhenti pada alif lam mim itu, Nabi sekedar berhenti (waqaf sejenak), atau itu akhir ayat. Di sinilah ulama berbeda.
Al-Kufi menganggap itu merupakan ayat tersendiri. Sementara yang lain hanya menganggap itu sekedar berhenti untuk waqaf. Sehingga, Al-Kufi menghitung alif lam mim ayat 1, dan zalikal kitabu la raiba fih, hudal lilmuttaqin ayat 2, dan ulama selainnya menghitung alif lam mim, zalikal kitabu la raiba fih, hudal lilmuttaqin menjadi ayat 1.

Jumlah ayat pada Surah Al-Fatihah?
Tentu kita semua sering menyaksikan beberapa imam shalat ketika membaca surah Al-Fatihah, ada yang memulai dengan basmalah, ada juga yang langsung memulai dengan hamdalah. Apa sebanya? Jawabannya bisa dikembalikan pada perbedaan cara menghitung ayat Al-Qur’an.
Seluruh Ulama sepakat, bahwa surah Al-Fatihah terdiri dari 7 ayat. Namun terdapat perbedaan dalam menentukan ayat-ayatnya.
Perbedaan terletak pada basmalah, apakah merupakan bagian dari surah Al-Fatihah atau tidak?
Al-Kufi berpendapat bahwa basmalah adalah bagian dari surah Al-Fatihah dan merupakan ayat pertama. sehingga yang menjadi ayat ketujuah adalah "siratal lazina an’amta ‘alaihim gairil magdubi ‘alaihim walad dallin".
Sementara yang lainnya berpendapat bahwa basmalah bukan termasuk bagian dari surah Al-Fatihah. Basmalah yang termasuk ayat Al-Qur’an hanya terdapat pada QS. An-Naml [27] ayat ke 30. Sehingga, ayat pertama surah Al-Fatihah ialah hamdalah, al-hamdu lillahi rabbil ‘alamin. Ayat keenamnya adalah siratal lazina an’amta ‘alaihim. Dan ayat ketujuh, gairil magdubi ‘alaihim walad dallin.
Bila dikaitkan dengan ilmu waqaf dan ibtida’, bagi yang mengikuti pendapat Al-Kufi, maka berhenti pada siratal lazina an’amta ‘alaihim termasuk kategori waqaf yang tidak sempurna, karena kalimat berikutnya merupakan penjelasan (na'at) dari allazina an’amta ‘alaihim. Karena itu, dalam Mushaf Al-Qur’an Indonesia, pada lafaz ‘alaihim yang pertama di ayat ketujuh, dibubuhkan tanda (لا) kecil diatas huruf terakhir pada akhir penggalan ayat, yang mengisyaratkan bahwa tidak boleh waqaf, dan ditambahkan pula tanda (۵) untuk menandakan bahwa pada lafaz ‘alaihim terdapat perbedaan penghitungan ayat.
Adapun bagi yang mengikuti pendapat siratal lazina an’amta ‘alaihim sebagai ayat tersendiri (ayat ke-6), maka berhenti pada ‘alaihim termasuk waqaf hasan, karena berhenti pada akhir ayat, meskipun masih terkait dengan ayat berikutnya.
Contoh lain dapat dilihat pada Ayat Kursi, dalam hitungan Al-Kufi Ayat Kursi terdapat pada Al-Baqarah ayat 255, sementara dalam hitungan al-Madani al-Awwal pada Al-Baqarah ayat 253, dan dalam hitungan Al-Madani Al-Akhir pada Al-Baqarah 253 dan 254 (menjadi dua ayat).

Kitab-kitab referensi hitungan ayat Al-Qur'an.
Terdapat puluhan kitab yang bisa dijadikan referensi untuk menghitung ayat Al-Qur’an. Ada kitab yang membahas secara khusus hitungan ayat Al-Qur’an, baik dalam bentuk nadham (bayt/sya’ir), atau bentuk deskripsi. Ada pula kitab yang menggabungkannya dengan pembahasan tema-tema ulumul Qur’an lainnya.
Beberapa kitab yang secara khusus membahas hitungan ayat Al-Qur’an ialah: Mandhumah Nadhimah az-Zuhr fi ‘Addi Ayi as-Suwar, karya Asy-Syathibi (w. 590 H); Basyir al-Yusri Syarh Nadhimah az-Zuhr, karya ‘Abdul Fattah ‘Abdul Ghani al-Qadli; Mandhumah al-Fara’id al-Hisan fi ‘Addi Ayi al-Qur’an, karya ‘Abdul Fattah ‘Abdul Ghani al-Qadli; Nafa’is al-Bayan Syarh al-Fara’id al-Hisan fi ‘Addi Ayi al-Qur’an, karya ‘Abdul Fattah ‘Abdul Ghani al-Qadli; dan Kitabu ‘Adadi Ayi al-Qur’an, karya Abul Hasan ‘Ali Muhammad bin Isma’il bin Bisyr at-Tamimi al-Anthaki (w. 377 H), dalam bentuk uraian secara detail.
Meskipun Ilmu menghitung ayat Al-Qur’an ini sudah final pembahasannya, namun penting juga mempelajarinya, agar kita tidak merasa aneh ketika melihat perbedaan pada Mushaf cetakan yang beredar di dunia Islam saat ini.

Bagaimana dengan angka 6.666 ayat yang sangat populer?
Angka ini memang cukup populer, karena cukup mudah dihafal. Sekali dengar, pasti tidak akan lupa sampai mati. Karena itu di masyarakat angka 6.666 lebih populer.
Agar kita tidak terlalu cepat mengatakan bahwa pendapat ini tidaklah berdasar sama sekali dan terlalu mengada-ada, maka pertama saya ingin menunjukkan bahwa paling tidak, pendapat ini dapat ditemukan dalam beberapa keterangan:
  • Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1316 H/1897 M) dalam kitabnya Nihayatuz-Zain fi Irsyadil-Mubtadi’in (DKI Lebanon, t.th. cet. ke-1/36).
  • Wahbah az-Zuhaily dalam kitabnya At-Tafsir al-Munir fil-‘Aqidah wasy-Syari’ah wal-Manhaj, (Dar al-Fikr 2003, jilid 1/45)

Pastinya, hitungan 6.666 tersebut tidak dimaksudkan menunjuk pada urutan jumlah ayat Al-Qur’an, karena pasti kita tidak akan mendapatkan jumlah sebesar itu. Seperti yang sudah kita ketahui, jumlah ayat dalam artian urutan total ayat Al-Qur’an adalah sebagaimana menurut 7 mazhab yang diikuti dalam menghitung ayat Al-Qur’an.
Lalu apa maksud Syekh Nawawi dan Syekh Wahbah menyebutkan bilangan 6.666? Apakah keduanya tidak faham Ilmu Cara Menghitung ayat Al-Qur’an? Pasti keduanya faham betul, karena keduanya jauh lebih alim dan mumpuni keilmuannya daripada kita semua.
Jadi, jumlah 6.666 tersebut dimaksudkan untuk menunjuk kandungan ayat Al-Qur’an, dengan rincian sebagai berikut; al-amr (perintah) berjumlah 1000, an-nahy (larangan) berjumlah 1000, al-wa’d (janji) berjumlah 1000, al-wa’id (ancaman) berjumlah 1000, al-qasas wal-akhbar (kisah-kisah dan informasi) berjumlah 1000, al-ibr wal-amtsal (pelajaran dan perumpamaan) berjumlah 1000, al-haram wal halal (halal dan haram) berjumlah 500, ad-du’a (doa) berjumlah 100, dan an-nasikh wal-mansukh (nasikh mansukh) berjumlah 66.
Jumlah kandungan Al-Qur’an sebanyak 6.666 ini, hanyalah sedikit pendapat dari sekian banyak pendapat yang ada. Masing-masing Ulama pasti mempunyai hitungan yang berbeda satu sama lain. Memang demikianlah, tidak ada pendapat yang bisa mengklaim paling benar melebihi pendapat lainnya.

Perbedaan Mushaf Al-Qur'an Cetak


Perbedaan Penulisan Mushaf Al-Qur’an Cetak

Hikmah dibalik viralnya video unggahan Al-Qur’an yang dianggap salah dan menyesatkan karena ditulis menggunakan sistem penulisan yang berbeda dengan yang kita kenal, ialah menjadikan kita semua semakin tahu bahwa memang terdapat perbedaan sistem penulisan diantara Mushaf Al-Qur’an cetak yang ada di sekitar kita. 
Tapi perlu kita ketahui bahwa perbedaan penulisan tersebut kesemuanya adalah benar. Mushaf Al-Qur’an Indonesia, Mushaf Al-Qur’an Madinah, Mushaf Al-Qur’an Libya, Mushaf Al-Qur’an Maroko, Mushaf Al-Qur’an Turki, dan Mushaf Al-Qur’an dari belahan negara yang lainnya, kesemuanya dengan segala perbedaannya adalah benar sesuai dengan sistem penulisan yang diikuti masing-masing. 
Kita akan memulai membahas letak perbedaan penulisan Mushaf Al-Qur’an dari definisi Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia. 
Apa itu Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia, ialah: Mushaf Al-Qur’an yang dibakukan cara penulisan, harakat, tanda baca dan tanda waqaf-nya, sesuai dengan hasil yang dicapai dalam Musyawarah Kerja (Muker) Ulama Ahli Al-Qur’an I s.d. IX, dari tahun 1974 s/d. 1983 dan dijadikan sebagai pedoman bagi Al-Qur’an yang diterbitkan di Indonesia.”
Dari definisi tersebut, kita bisa mengetahui bahwa terdapat 4 hal perbedaan dalam Mushaf Al-Qur’an. Pertama, sistem penulisan (Rasm Al-Qur’an). Kedua, sistem harakat (asy-Syakl). Ketiga, sistem tanda baca (adh-Dhabt). Dan keempat, tanda waqaf (al-Waqf).
Keempat perbedaan tersebut ialah perbedaan yang melekat pada penulisan teks Al-Qur’an. Memang ada pula perbedaan lain yang tidak melekat secara langsung dengan penulisan teks ayat Al-Qur’an, seperti perbedaan hitungan ayat, perbedaan pembagian Al-Qur’an, perbedaan penentuan awal juz, perbedaan penamaan surah, perbedaan penentuan makki-madani, dan perbedaan desain atau lay out.

Perbedaan Sistem Penulisan
Dalam sistem Penulisan Mushaf Al-Qur’an (Rasm al-Qur’an) terdapat dua sistem penulisan yang lazim digunakan. 
Pertama, sistem penulisan dengan Rasm Qiyasi atau Rasm Imla’i. Ialah penulisan kata sesuai dengan pelafalan atau bacaannya. 
Namun, Penting untuk dicatat, bahwa kata-kata yang penulisannya sudah masyhur dan baku, seperti Ar-Rahmaan (setelah mim tanpa alif), As-Salaah, az-Zakaah (alif ditulis dengan wawu), ar-Ribaa (setelah ba’ berupa wawu dan alif), dan beberapa kata lainnya, seperti zaalika (setelah dzal tanpa alif), haa’ulaa’i (setelah ha’ nida’ tanpa alif), maka penulisannya tetap sebagaimana tulisan yang masyhur, sehingga tidak berbeda dengan Mushaf yang ditulis dengan Rasm Usmani. 
Jadi, yang dituliskan dengan menggunakan Rasm Qiyasi ialah terhadap kata-kata yang tidak memiliki tulisan masyhur dan baku. Dengan kata lain, tidak ada satupun Al-Qur’an yang ditulis seluruhnya dengan rasm qiyasi atau rasm imla’i. Kita ambil Contoh, Al-Baqarah 2-3. Dalam kedua ayat ini yang ditulis dengan rasm qiyasi ialah al-kitaabu (setelah ta’ pakai alif) dan razaqnaahum (setelah nun pakai alif). Sementara zaalika dan As-Salaah tetap ditulis dengan tulisan yang masyhur yang sama dengan penulisan dengan rasm usmani.
Adapun Mushaf yang ditulis dengan Rasm Qiyasi atau Imla’i seperti Mushaf Turki, Mushaf Menara Kudus (Mushaf Turki), dan Mushaf Indonesia jenis Bahriyyah.
Kedua, Sistem Penulisan  dengan Rasm Usmani, yaitu sistem penulisan Al-Qur’an sebagaimana yang telah ditulis pada masa Khalifah ketiga, Usman bin Affan, oleh tim yang dipimpin oleh Sahabat Zaid bin Sabit. Penamaannya dengan Rasm Usmani adalah karena dinisbahkan kepada khalifah Usman bin Affan sebagai khalifah yang memerintahkan penulisan kembali Al-Qur’an pada masa itu untuk penyatuan qiraat.
Dalam Rasm Usmani terdapat dua riwayat utama yang diikuti: 
1.       Riwayat Abu ‘Amr Ad-Dani, yang lebih dikenal dengan Ad-Dani (w. 444 H) dalam kitab Al-Muqni’ fi Ma’rifati Marsum Masahif Ahl al-Amsar
2.       Riwayat Abu Dawud Sulaiman bin Najah yang dikenal dengan Abu Dawud  (w. 496 H.), dalam Mukhtasar at-Tabyin li Hija’ at-Tanzil
Pada umumnya, mushaf-mushaf cetak yang beredar di seluruh dunia saat ini ditulis menggunakan Rasm Usmani dengan memilih salah satu dari kedua riwayat Ad-Dani atau Abu Dawud. Mushaf Indonesia, Mushaf Libya, Mushaf Bombay, dan Mushaf Iran mengikuti riwayat Ad-Dani. Sementara Mushaf Madinah, Mushaf Mesir, dan Mushaf-mushaf negara lainnya yang merujuk kepada keduanya.

Cakupan Rasm Usmani
Banyak orang salah memahami Rasm Usmani. Di antara mereka ada yang memahami bahwa Rasm Usmani hanya satu versi saja. Padahal seperti dijelaskan di atas, dalam Rasm Usmani terdapat dua riwayat utama, riwayat ad-Dani dan riwayat Abu Dawud, yang dikenal dengan sebutan asy-Syaikhani fi ‘ilm ar-Rasm ‘Usmani (Dua ulama yang kredibel dalam ilmu Rasm Usmani).. 
Banyak juga yang salah memahami tentang cakupan Rasm Usmani, dan mengira bahwa Rasm Usmani meliputi tulisan ayat lengkap dengan harakat dan tanda bacanya, seperti yang tertulis dalam Mushaf Madinah. Sehingga, dari kesalahfahaman tersebut, mereka menilai bahwa selain mushaf Madinah, termasuk Mushaf Indonesia tidak menggunakan Rasm Usmani.
Lalu, apa yang menjadi cakupan Rasm Usmani? Cakupan Rasm Usmani ialah hanya pada batang tubuh huruf (jism al-huruf), tanpa titik huruf, harakat, maupun tanda baca apapun. 
Mari kita lihat contoh pada halaman 3 dalam mushaf cetak format 15 baris, yang berisi QS. Al-Baqarah 6-16. Perbedaan Rasm Usmani yang terdapat di dalamnya hanya pada 4 kata, Absaarihim, gisyaawatun ayat 7, thugyaanihim ayat 15, dan tijaaratuhum ayat 16. Yang mengikuti rawayat Ad-Dani menuliskan keempat kata tersebut menggunakan alif untuk bacaan panjang, sementara yang memilih riwayat Abu Dawud menuliskannya tanpa alif.
Jadi, dari sisi Rasm Usmani perbedaan antara mushaf Indonesia yang memilih riwayat Ad-Dani, dan Mushaf Madinah yang memilih riwayat Abu Dawud, relatif sedikit. Perbedaan terbanyak ialah pada sistem harakat dan sistem tanda baca yang digunakan. 


Perbedaan Sistem Harakat dan Tanda Baca
Perbedaan kedua dan ketiga, ialah perbedaan sistem harakat dan tanda baca. Kita membahas keduanya bersamaan, karena keduanya saling terkait. Harakat meliputi fathah, dammah, kasrah, fathatain, dammatain, dan kasratain. Sementara tanda baca meliputi, tanda mad, tanda bacaan tajwid, kepala hamzah.
Untuk menyederhanakan penjelasan, kita akan membandingkan antara dua Mushaf, Mushaf Indonesia dan Mushaf Madinah. Hampir setiap baris terdapat perbedaan antara kedua mushaf ini. 
Sistem harakat dalam Mushaf Madinah tidak mengenal harakat panjang, sehingga untuk kata-kata yang mengandung bacaan panjang yang penulisannya dalam rasm usmani dengan membuang huruf mad, maka dituliskanlah alif kecil setelah fathah, ya’ kecil setelah kasrah, dan wawu kecil setelah dammah. Sementara dalam Mushaf Indonesia cukup dengan satu tanda, dengan fathah berdiri, kasrah berdiri, dan dammah terbalik. 
Sistem tanda baca untuk hamzah qata’, dalam Mushaf Madinah diberi kepala hamzah. Hamzah wasal, diberi tanda berbentuk seperti sad. Adapun dalam Mushaf Indonesia, baik hamzah qata’ maupun hamzah wasal tidak diberikan tanda. 
Untuk bacaan panjang pada alif, maka Mushaf Madinah menambahkan kepala hamzah yang diberi fathah sebelum huruf alif, sementara Mushaf Indonesia cukup memberikan fathah berdiri di atas alif yang merupakan hamzah. Di sini terdapat perbedaan, kalau dalam Mushaf Madinah, huruf alif adalah memang alif, sementara dalam Mushaf Indonesia, alif tersebut hakikatnya memang hamzah yang ditulis dalam bentuk alif.
Oleh karena itu, kurang tepat jika menilai sistem harakat dan tanda baca mushaf tertentu lebih benar dibanding yang lain. Masing-masing memiliki sistem harakat dan tanda baca yang diikuti. Selama mengantarkan kepada bacaan Al-Qur’an yang benar, maka kesemuanya diperbolehkan dan dibenarkan.

Perbedaan Tanda Waqaf
Diantara kita pasti pernah mendapati beberapa Al-Qur’an dengan tanda waqaf yang berbeda satu sama lain. Atau pasti kita pernah ditanya orang terkait tanda waqaf yang berbeda antara Al-Qur’an Madinah dan Al-Qur’an Indonesia.
Mushaf Madinah memiliki tanda waqaf sejumlah 4.273. Kesemuanya terdapat di tengah ayat. Karena Mushaf Madinah mengikuti pendapat bahwa berhenti pada akhir ayat termasuk waqaf hasan, meskipun pada akhir ayat yang memiliki hubungan yang erat dengan ayat berikutnya.
Mushaf Indonesia memiliki total tanda waqaf sebanyak 7.221, yang berada di tengah ayat berjumlah 5.074, dan yang terdapat akhir ayat berjumlah 2.147.
Mushaf Libya memiliki tanda waqaf sejumlah 9.947, di tengah ayat sebanyak 4.914, dan di akhir ayat sebanyak  5.033.
Baik Mushaf Indonesia maupun Mushaf Libya tetap membubuhkan tanda waqaf pada akhir ayat. Perbedaannya, Mushaf Indonesia membubuhkan tanda waqaf pada akhir ayat yang memiliki hubungan dengan ayat berikutnya. Sementara Mushaf Libya justru membubuhkan tanda waqaf di akhir ayat pada ayat yang tidak memiliki hubungan dengan ayat berikutnya. Sehinggga jumlah tanda waqaf di akhir ayat berjumlah dua kali lipat dibandingkan dengan Mushaf Indonesia. 
Contoh QS. Al-Baqarah 34: wa idz qulnaa lil malaa’ikatis juduu li aadama fasajaduu illaa ibliisa abaa was takbara wa kaana minal kaafiriin
Mushaf Madinah tanpa tanda waqaf sampai akhir ayat. Mushaf Turki waqaf pada kata ibliis. Mushaf Libya waqaf pada kata fasajaduu. Mushaf Indonesia, waqaf pada Ibliis, dan wastakbara. Dalam contoh ini, perbedaan waqaf tidak menyebabkan perbedaan arti terhadap ayat.
Contoh yang berakibat pada perubahan sedikit terhadap arti ayat, antara lain terdapat pada QS. Ali ‘Imran 7: huwal ladzii anzala ‘alaikal kitaaba minhu aayaatum muhkamaatun hunna ummul kitaabi wa ukharu mutasyabihaat
Mushaf pada umumnya, termasuk Mushaf Indonesia, waqaf pada kata mutasyabihaat. Sementara Mushaf Libya dan Maroko, waqaf pada kata minhu, dan kata mutasyaabihaat.
Jika waqaf pada kata mutasyaabihaat, maka arti ayat: Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu. Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab dan yang lain mutasyabihat. Damir pada kata minhu kembali kepada kata al-Kitab.
Namun jika waqaf pada kata minhu, maka damir kembali kepada Allah, sehingga arti ayat menjadi: Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu dari sisi-Nya. (Di dalamnya) ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab dan yang lain mutasyabihat.
Mana yang harus diikuti? Kesemuanya boleh diikuti, karena didasarkan pada referensi dari kitab-kitab waqaf-ibtida’ dan kitab tafsir yang kredibel. Dan kesemuanya bisa dibenarkan. 

Senin, 15 Januari 2018

MUSHAF STANDAR INDONESIA BUKAN USMANI???


 
Mushaf Standar Indonesia Rams Usmani
Gambar: Mushaf At-Tin


Beberapa kesempatan ketika di toko Al-Qur’an dan Stand di IBF 2016 ini, saya menjumpai beberapa fakta menarik. Ketika beberapa pembeli menanyakan apakah ada Al-Qur’an Usmani? Ketika penjaga took menyodorkan Mushaf Indonesia, mereka pada mengatakan: Bukan yang ini, ini tidak Usmani. Tetapi ketika disodorkan Mushaf Luar Negeri, terutama Terbitan Timur Tengah dengan khat Madinah, maka mereka mengatakan: Ya, ini Al-Qur’an yang Usmani.
Ada fakta yang menarik sekaligus menimbulkan banyak pertanyaan:
Apakah Mushaf Standar Indonesia tidak menggunakan Rasm Usmani? Apakah Al-Qur’an Rasm Usmani hanya Al-Qur’an Madinah saja? Apakah Rasm Usmani hanya satu versi? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang lainnya. Misalnya: Sejauhmana pemahaman masyarakat terkait dengan Rasm Usmani?
Hal lain yang juga sering disahfahami adalah cakupan Rasm Usmani. Dalam Pandangan masyarakat luas Rasm Usmani itu meliputi batang tubuh ayat dan seluruh sistem harakat dan tanda baca Al-Qur’an. Padahal cakupan Rasm Usmani hanyalah batang tubuh ayat saja. Titik huruf, sistem harakat, dan tanda baca tidak termasuk dalam cakupan Rasm Usmani (kompasiana.com: Tanda Baca Al-Qur’an).
Dalam tulisan singkat ini, penulis ingin sedikit mengurai masalah Rasm Usmani dalam Mushaf Al-Qur’an dan ragam-ragamnya.

Ragam Rasm Usmani
Ragam penulisan mushaf dalam displin ilmu rasm al-mushaf masuk dalam pembahasan ilmu rasm (pola tulis kalimat). Dalam disiplin pola tulis huruf arab secara umum dikenal ada jenis bentuk tulisan (rasm);
1.      Rasm qiyasi/imlai (pola penulisan sesuai dengan cara pengucapannya).
2.      Rasm usmani (pola penulisan sesuai dengan cara penulisan yang ditetapkan Usman bin Affan).
3.      Rasm arudi (pola penulisan sesuai dengan wazan dalam syair-syair Arab).
Adapun terkait dengan Penulisan Al-Qur’an secara khusus hanya ditulis dengan dua macam pola penulisan, yaitu dengan rasm usmani dan rasm imlai. Tulisan singkat ini hanya akan membahas tentang Rasm Usmani.
Rasm Usmani sebagai sebuah disiplin ilmu telah memiliki beberapa mazhab atau aliran. Mazhab utama ilmu rasm usmani dinisbahkan kepada Abu ‘Amr ad-Dani (w. 444 H.) dalam karyanya Al-Muqni’ fi Ma’rifati Marsum Masahif Ahl al-Amsar dan Abu Dawud Sulaiman bin Najah (w. 496 H.), dalam karyanya Mukhtasar at-Tabyin li Hija’ at-Tanzil, yang dikenal dengan sebutan Syaikhani dalam ilmu rasm.
Selain keduanya juga terdapat imam-imam rasm yang lainnya yang juga sering dijadikan rujukan, karena karya-karya mereka memberikan tambahan-tambahan terhadap hal-hal yang tidak dibahas oleh Abu ‘Amr ad-Dani dan Abu Dawud Sulaiman bin Najah, bahkan terkadang juga memberikan koreksi terhadap pandangan keduanya, seperti al-Balansi (w. 564 H) dalam kitabnya al-Munsif, asy-Syatibi (w. 590 H) dalam karyanya al-Aqilat al-Atraf, as-Sakhawi dalam kitabnya al-Wasilah ila Kasyf al-‘Aqilah, dan lain-lain.
Adanya beberapa mazhab atau aliran Rasm Usmani ini sayangnya tidak banyak diketahui oleh masyarakat luas. Akibatnya, muncul beberapa pandangan “miring” seperti fakta di atas, yang terkadang memunculkan dampak negatif, dengan menganggap bahwa Mushaf tertentu dianggap paling mengikuti “Rasm Usmani” dibanding mushaf-mushaf lainnya. Seperti antara Mushaf Madinah dengan Mushaf Indonesia.
 Adanya beberapa Mazhab rasm Usmani ini juga dapat terbaca pada Ta’rif bi-hadza al-Mushaf di halaman akhir Mushaf Madinah terbitan Mujamma’ al-Malik Fahd tahun 1407 H/1986 M, yang menyatakan:
Pola penulisan rasm pada mushaf ini adalah sesuai dengan  riwayat asy-Syaikhan, yaitu Abu Amr ad-Dani dan Abu Daud Sulaiman bin Najah, dengan men-tarjih pandangan Abu Daud bila terjadi perbedaan (dengan ad-Dani)."
Dalam kutipan di atas, dengan tegas dikatakan bahwa acuan rasm usmani Mushaf Madinah adalah sesuai dengan riwayat asy-Syaikhan, yaitu Abu Amr ad-Dani dan Abu Dawud Sulaiman bin Najah, dengan men-tarjih pandangan Abu Dawud bila terjadi perbedaan (dengan ad-Dani). Namun, setelah diteliti ulang dengan mengkaji sejumlah literatur dan mengecek kembali kebenaran sumbernya, ternyata terdapat beberapa pola penulisan yang tidak sepenuhnya mengacu secara konsisten kepada mazhab Abu Dawud. Oleh karena itu, pada cetakan tahun 1426 H/2004 M, redaksi pada halaman Ta’rif bi-hadza al-Mushaf ditambah menjadi sebagai berikut:
Pola penulisan rasm pada mushaf ini adalah sesuai dengan  riwayat asy-Syaikhan, yaitu Abu Amr ad-Dani dan Abu Daud Sulaiman bin Najah, dengan men-tarjih pandangan Abu Daud bila terjadi perbedaan (dengan ad-Dani) pada umumnya, dan terkadang dirujuk dari ulama selain keduanya.”
Dengan redaksi di atas, Mushaf Madinah tidak membatasi pendapat pada asy-Syakhani saja, namun menampung juga pendapat di luar keduanya, karena memang tidak akan mungkin bisa seratus persen mengikuti satu riwayat rasm usmani. 
Mushaf Madinah ditulis dengan Rasm Usmani dengan mengacu pada Asy-Syaikhani
dengan melakukan tarjih pendapat Abu Dawud jika terjadi khilaf antara keduanya.
Halaman 3: terdapat beberapa kata dengan membuang Alif, yaitu: ابصرهم, غشوة, طغينهم, dan تجرتهم.

  Untuk perbandingan kita ambil contoh dengan Mushaf Jamahiriyyah Syiria yang ditulis dengan Rasm Usmani Mazhab Abu ‘Amr al-Dani. Perbedaan yang menonjol antara Mushaf Madinah dan Mushaf Jamahiriyyah Syria ini adalah pada penambahan Alif. Mazhab Abu Amr ad-Dani banyak menambahkan Alif, sementara Mazhab Abu Dawud lebih sering membuang Alif.

Mushaf Jamahiriyyah yang ditulis dengan Rasm Usmani Mazhab Ad-Dani
Halaman 3: terdapat beberapa kata dengan isbat Alif, yaitu: ابصارهم, غشاوة, طغيانهم, dan تجارتهم



Adapun Rasm Usmani dalam Mushaf Indonesia tidak berafiliasi secara tegas kepada salah satu mazhab rasm, namun kalau dilihat secara lebih rinci lebih banyak mengadopsi pandangan Abu ‘Amr ad-Dani. Ini bisa dilihat dalam isbat (penetapan) Alif dalam banyak penulisan kata.
Mushaf Standar Indonesia Rasm Usmani.
Halaman 4: terdapat beberapa kata dengan isbat Alif, yaitu: ابصارهم, غشاوة, طغيانهم, dan تجارتهم.
Penulisan keempat kata tersebut mengikuti Mazhab Ad-Dani.

Berikut ini juga beberapa contoh lafaz-lafaz lain yang terdapat dalam beberapa Al-Qur'an yang ditulis dengan Rasm Usmani dari berbagai Negara:
Perbedaan Penulisan Rasm Usmani dari beberapa Al-Qur'an tetap merujuk pada Referensi Kitab Rasm Usmani

Dengan demikian, anggapan bahwa rasm usmani hanya satu macam adalah anggapan yang berlebihan dan keliru. Mushaf Standar Indonesia adalah juga menggunakan Rasm Usmani, seperti halnya Mushaf Madinah, dan Mushaf Syria, namun dengan afiliasi mazhab yang berbeda dengan Mushaf Madinah dan Mushaf Jamahiriyyah. Letak perbedaannya, jika kedua mushaf ini lebih mentarjih salah satu mazhab, maka Mushaf Indonesia tidak melakukan tarjih sama sekali.
Adanya beberapa Mazhab dalam Rasm Usmani ini bisa dilihat dari banyaknya Kitab-kitab Rasm Al-Qur’an dengan beragam mazhab yang terdapat dalam rasm usmani, yang ditulis dari abad ke-2 Hijariyyah sampai abad ke-15.