Pages

Senin, 15 Januari 2018

MUSHAF STANDAR INDONESIA BUKAN USMANI???


 
Mushaf Standar Indonesia Rams Usmani
Gambar: Mushaf At-Tin


Beberapa kesempatan ketika di toko Al-Qur’an dan Stand di IBF 2016 ini, saya menjumpai beberapa fakta menarik. Ketika beberapa pembeli menanyakan apakah ada Al-Qur’an Usmani? Ketika penjaga took menyodorkan Mushaf Indonesia, mereka pada mengatakan: Bukan yang ini, ini tidak Usmani. Tetapi ketika disodorkan Mushaf Luar Negeri, terutama Terbitan Timur Tengah dengan khat Madinah, maka mereka mengatakan: Ya, ini Al-Qur’an yang Usmani.
Ada fakta yang menarik sekaligus menimbulkan banyak pertanyaan:
Apakah Mushaf Standar Indonesia tidak menggunakan Rasm Usmani? Apakah Al-Qur’an Rasm Usmani hanya Al-Qur’an Madinah saja? Apakah Rasm Usmani hanya satu versi? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang lainnya. Misalnya: Sejauhmana pemahaman masyarakat terkait dengan Rasm Usmani?
Hal lain yang juga sering disahfahami adalah cakupan Rasm Usmani. Dalam Pandangan masyarakat luas Rasm Usmani itu meliputi batang tubuh ayat dan seluruh sistem harakat dan tanda baca Al-Qur’an. Padahal cakupan Rasm Usmani hanyalah batang tubuh ayat saja. Titik huruf, sistem harakat, dan tanda baca tidak termasuk dalam cakupan Rasm Usmani (kompasiana.com: Tanda Baca Al-Qur’an).
Dalam tulisan singkat ini, penulis ingin sedikit mengurai masalah Rasm Usmani dalam Mushaf Al-Qur’an dan ragam-ragamnya.

Ragam Rasm Usmani
Ragam penulisan mushaf dalam displin ilmu rasm al-mushaf masuk dalam pembahasan ilmu rasm (pola tulis kalimat). Dalam disiplin pola tulis huruf arab secara umum dikenal ada jenis bentuk tulisan (rasm);
1.      Rasm qiyasi/imlai (pola penulisan sesuai dengan cara pengucapannya).
2.      Rasm usmani (pola penulisan sesuai dengan cara penulisan yang ditetapkan Usman bin Affan).
3.      Rasm arudi (pola penulisan sesuai dengan wazan dalam syair-syair Arab).
Adapun terkait dengan Penulisan Al-Qur’an secara khusus hanya ditulis dengan dua macam pola penulisan, yaitu dengan rasm usmani dan rasm imlai. Tulisan singkat ini hanya akan membahas tentang Rasm Usmani.
Rasm Usmani sebagai sebuah disiplin ilmu telah memiliki beberapa mazhab atau aliran. Mazhab utama ilmu rasm usmani dinisbahkan kepada Abu ‘Amr ad-Dani (w. 444 H.) dalam karyanya Al-Muqni’ fi Ma’rifati Marsum Masahif Ahl al-Amsar dan Abu Dawud Sulaiman bin Najah (w. 496 H.), dalam karyanya Mukhtasar at-Tabyin li Hija’ at-Tanzil, yang dikenal dengan sebutan Syaikhani dalam ilmu rasm.
Selain keduanya juga terdapat imam-imam rasm yang lainnya yang juga sering dijadikan rujukan, karena karya-karya mereka memberikan tambahan-tambahan terhadap hal-hal yang tidak dibahas oleh Abu ‘Amr ad-Dani dan Abu Dawud Sulaiman bin Najah, bahkan terkadang juga memberikan koreksi terhadap pandangan keduanya, seperti al-Balansi (w. 564 H) dalam kitabnya al-Munsif, asy-Syatibi (w. 590 H) dalam karyanya al-Aqilat al-Atraf, as-Sakhawi dalam kitabnya al-Wasilah ila Kasyf al-‘Aqilah, dan lain-lain.
Adanya beberapa mazhab atau aliran Rasm Usmani ini sayangnya tidak banyak diketahui oleh masyarakat luas. Akibatnya, muncul beberapa pandangan “miring” seperti fakta di atas, yang terkadang memunculkan dampak negatif, dengan menganggap bahwa Mushaf tertentu dianggap paling mengikuti “Rasm Usmani” dibanding mushaf-mushaf lainnya. Seperti antara Mushaf Madinah dengan Mushaf Indonesia.
 Adanya beberapa Mazhab rasm Usmani ini juga dapat terbaca pada Ta’rif bi-hadza al-Mushaf di halaman akhir Mushaf Madinah terbitan Mujamma’ al-Malik Fahd tahun 1407 H/1986 M, yang menyatakan:
Pola penulisan rasm pada mushaf ini adalah sesuai dengan  riwayat asy-Syaikhan, yaitu Abu Amr ad-Dani dan Abu Daud Sulaiman bin Najah, dengan men-tarjih pandangan Abu Daud bila terjadi perbedaan (dengan ad-Dani)."
Dalam kutipan di atas, dengan tegas dikatakan bahwa acuan rasm usmani Mushaf Madinah adalah sesuai dengan riwayat asy-Syaikhan, yaitu Abu Amr ad-Dani dan Abu Dawud Sulaiman bin Najah, dengan men-tarjih pandangan Abu Dawud bila terjadi perbedaan (dengan ad-Dani). Namun, setelah diteliti ulang dengan mengkaji sejumlah literatur dan mengecek kembali kebenaran sumbernya, ternyata terdapat beberapa pola penulisan yang tidak sepenuhnya mengacu secara konsisten kepada mazhab Abu Dawud. Oleh karena itu, pada cetakan tahun 1426 H/2004 M, redaksi pada halaman Ta’rif bi-hadza al-Mushaf ditambah menjadi sebagai berikut:
Pola penulisan rasm pada mushaf ini adalah sesuai dengan  riwayat asy-Syaikhan, yaitu Abu Amr ad-Dani dan Abu Daud Sulaiman bin Najah, dengan men-tarjih pandangan Abu Daud bila terjadi perbedaan (dengan ad-Dani) pada umumnya, dan terkadang dirujuk dari ulama selain keduanya.”
Dengan redaksi di atas, Mushaf Madinah tidak membatasi pendapat pada asy-Syakhani saja, namun menampung juga pendapat di luar keduanya, karena memang tidak akan mungkin bisa seratus persen mengikuti satu riwayat rasm usmani. 
Mushaf Madinah ditulis dengan Rasm Usmani dengan mengacu pada Asy-Syaikhani
dengan melakukan tarjih pendapat Abu Dawud jika terjadi khilaf antara keduanya.
Halaman 3: terdapat beberapa kata dengan membuang Alif, yaitu: ابصرهم, غشوة, طغينهم, dan تجرتهم.

  Untuk perbandingan kita ambil contoh dengan Mushaf Jamahiriyyah Syiria yang ditulis dengan Rasm Usmani Mazhab Abu ‘Amr al-Dani. Perbedaan yang menonjol antara Mushaf Madinah dan Mushaf Jamahiriyyah Syria ini adalah pada penambahan Alif. Mazhab Abu Amr ad-Dani banyak menambahkan Alif, sementara Mazhab Abu Dawud lebih sering membuang Alif.

Mushaf Jamahiriyyah yang ditulis dengan Rasm Usmani Mazhab Ad-Dani
Halaman 3: terdapat beberapa kata dengan isbat Alif, yaitu: ابصارهم, غشاوة, طغيانهم, dan تجارتهم



Adapun Rasm Usmani dalam Mushaf Indonesia tidak berafiliasi secara tegas kepada salah satu mazhab rasm, namun kalau dilihat secara lebih rinci lebih banyak mengadopsi pandangan Abu ‘Amr ad-Dani. Ini bisa dilihat dalam isbat (penetapan) Alif dalam banyak penulisan kata.
Mushaf Standar Indonesia Rasm Usmani.
Halaman 4: terdapat beberapa kata dengan isbat Alif, yaitu: ابصارهم, غشاوة, طغيانهم, dan تجارتهم.
Penulisan keempat kata tersebut mengikuti Mazhab Ad-Dani.

Berikut ini juga beberapa contoh lafaz-lafaz lain yang terdapat dalam beberapa Al-Qur'an yang ditulis dengan Rasm Usmani dari berbagai Negara:
Perbedaan Penulisan Rasm Usmani dari beberapa Al-Qur'an tetap merujuk pada Referensi Kitab Rasm Usmani

Dengan demikian, anggapan bahwa rasm usmani hanya satu macam adalah anggapan yang berlebihan dan keliru. Mushaf Standar Indonesia adalah juga menggunakan Rasm Usmani, seperti halnya Mushaf Madinah, dan Mushaf Syria, namun dengan afiliasi mazhab yang berbeda dengan Mushaf Madinah dan Mushaf Jamahiriyyah. Letak perbedaannya, jika kedua mushaf ini lebih mentarjih salah satu mazhab, maka Mushaf Indonesia tidak melakukan tarjih sama sekali.
Adanya beberapa Mazhab dalam Rasm Usmani ini bisa dilihat dari banyaknya Kitab-kitab Rasm Al-Qur’an dengan beragam mazhab yang terdapat dalam rasm usmani, yang ditulis dari abad ke-2 Hijariyyah sampai abad ke-15.



TANDA BACA AL-QUR’AN


Tanda baca, harakat, dan hal-hal lain yang memperjelas tulisan ayat Al-Qur’an, seperti pembubuhan tanda hamzah, pembagian juz, penomoran ayat, penggunaan tanda Mad yang berbeda antara Mad Lazim/Wajib dengan Mad Jaiz, Silah Tawilah, Fathah dan kasrah berdiri serta dammah terbalik, dalam sistem penulisan Al-Qur’an merupakan perkembangan belakangan.
Sebagaimana diketahui dalam sejarah Pembukuan Al-Qur’an. Pada awalnya penulisan Al-Qur’an tidak menggunakan titik dan harakat sama sekali, baik pada masa Abu Bakar ataupun pada masa Usman bin Affan.
Sebuah Mushaf Abad pertama Hijriyyah Koleksi Musium Mesir

Pada Mushaf di atas belum ada tanda titik dan harakat, yang tertulis hanya batang tubuh teks. Berisi akhir ayat 92 sampai awal ayat 95 dari surah Al-Ma’idah.
Kemudian masa berikutnya muncul tanda i’rab oleh Abul Aswad ad-Duali (w. 62 H./682 M.) atas pemintaan Gubernur Basrah Ziyad. Meskipun pada awalnya ia enggan memenuhi permitaan Gubernur Ziyad.  Tanda yang diberikan Abul Aswad adalah:  tanda fathah berupa satu titik di atas huruf, kasrah berupa satu titik di bawah huruf, dhammah berupa satu titik di antara bagian yang memisahkan huruf, dan saknah berupa dua titik.
Sebuah Mushaf yang ditulis dalam skrip Kufi yang dinisbahkan kepunyaan Ali bin Abi Talib.
Koleksi Perputakaan Raza, Rampur, India (Rampur Raza Library).
(Foto diambil dari buku Sejarah Teks Al-Qur’an, M. M.  Al-A’zami)

Pada mushaf tersebut belum terdapat titik pada huruf (naqt al-I’jam), dan penomoran ayat. Titik berwarna merah yang terdapat pada beberapa huruf adalah titik yang menunjukkan harakat dari huruf, yaitu, titik satu di atas menunjukkan fathah, titik di bawah menunjukkan kasrah, titik di depan huruf menunjukkan dammah, sementara titik dua yang diletakkan secara vertikal menunjukkan tanwin. Lembar di atas berisi penggalan akhir ayat 234, 235, 236, dan bagian awal ayat 237 dari surah al-Baqarah.
Kemudian, muncul titik huruf oleh Yahya bin Ya’mur (w. 90 H.) dan Nasr bin Asim (w. 90 H.). Agar tidak serupa dengan titik i’rab, maka pada mulanya titik huruf diberi bentuk agak memanjang dan dengan tinta yang berbeda dengan titik i’rab.
Mushaf dari abad ketiga Hijriyyah.
Perpustakaan Inggris, Manuscript Or. 1397, f. 15b

Pada lembar mushaf di atas ditemukan penandaan setiap akhir ayat dengan titik tiga, kemudian setiap lima ayat ditandai dengan satu titik besar yang menyerupai angka lima arab, lalu setiap sepuluh ayat ditandai dengan bulatan besar berornamen. Selain itu, juga terdapat titik harakat yang berwarna merah, juga titik huruf berbentuk titik memanjang warna hitam agar tidak samar dengan titik harakat.  Terdapat juga titik yang berwarna biru untuk menunjukkan huruf hamzah.  Lembar di atas berisi: Lafaz terakhir ayat 193 s.d. penggalan pertama ayat 205 dari surah Asy-Syu’ara’.
Berikutnya, Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w. 170 H./786 M.) menyempurnakan harakat menjadi seperti yang kita kenal saat ini.

Setelah Al-Farahidi, bentuk harakat tidak mengalami perubahan penting, melainkan hanya penyempurnaan-penyempurnaan kecil, yang tujuannya agar tulisan semakin mudah dibaca. Oleh karenanya, adanya perbedaan penggunaan sistem tanda baca, harakat, dan tanda-tanda lainnya adalah murni ijtihad para ulama, agar Al-Qur’an semakin mudah dibaca. Masing-masing sistem tanda-tanda tersebut tidak ada yang lebih valid dibanding yang lainnya. Kesemuanya sama kedudukannya. Terserah kita mau memilih dan menggunakan yang mana. Wa Allahu A’lam

MUSHAF AL-QUR’AN STANDAR INDONESIA


Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia Adalah “Mushaf Al-Qur’an yang dibakukan cara penulisan, harakat, tanda baca dan tanda waqaf-nya, sesuai dengan hasil yang dicapai dalam Musyawarah Kerja (Muker) Ulama Ahli Al-Qur’an yang berlangsung 9 tahun, dari tahun 1974 s/d. 1983 dan dijadikan pedoman bagi Al-Qur’an yang diterbitkan di Indonesia.”
Penggunaan Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia sebagai dasar dalam pentashihan Al-Qur’an yang beredar di Indonesia didasarkan pada Keputusan Menteri Agama (KMA), Nomor 25 Tahun 1984 tentang penetapan Mushaf Al-Qur’an Standar yang dikuatkan dengan Instruksi Menteri Agama, Nomor 7 Tahun 1984 tentang penggunaan Mushaf Al-Qur’an Standar sebagai pedoman dalam mentashih Al-Qur’an di Indonesia.
Mushaf Standar Indonesia (MSI) ada tiga macam:
1. Mushaf Standar Rasm ‘Usmani,
2. Mushaf Standar Ayat Sudut (Bahriyyah) Rasm Imlai, dan
3. Mushaf Standar Braille.
Ketiga jenis Mushaf Standar Indonesia tersebut ditulis berdasarkan Qira’ah Riwayat Hafs bin Sulaiman bin al-Mughirah al-Asadi al-Kufi dari Imam Ashim bin Abi an-Najud al-Kufi at-Tabi’i dari Abu Abdirrahman Abdillah bin Habib as-Sulami dari Usman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tasbit dan Ubay bin Ka’ab, semuanya bersumber dari Rasulullah SAW.
Adapun untuk pemilihan harakat, tanda baca dan penyederhanaan tanda waqafnya mengacu pada keputusan Musyawarah Kerja (Muker) Ulama Al-Qur’an I-IX/1974-1983 dan berdasarkan komparasi harakat, tanda baca, dan tanda waqaf model cetakan dari beberapa Mushaf Al-Qur’an cetakan dalam dan luar negeri; Mesir, Pakistan, Bahriyyah Turki.
Perhitungan jumlah ayat Al-Qur’an mengikuti hitungan mazhab al-Kufi berdasarkan riwayat dari Abu Abdurrhaman Abdullah bin Habib as-Sulami dari Ali bin Abi Thalib sebagaimana tersebut dalam kitab al-Bayan fi ‘Addi Ayil-Qur'an, yakni berjumlah 6236 ayat. Pembagian 30 juz, 60 hizb, 7 manzil, dan 557 tanda ain rukuk mengikuti mushaf-mushaf yang sudah beredar di Indonesia, dengan merujuk kepada kitab-kitab Tajzi’ul Qur’an.

Mushaf Standar Indonesia (MSI) Rasm Usmani
Mushaf Standar Rasm ‘Usmani ditulis menggunakan Rasm Usmani dengan tidak menentukan secara eksplisit mengikuti mazhab rasm tertentu, akan tetapi jika dilihat secara teliti Rasm Usmani di dalamnya lebih dominan mengikuti Mazhab Abu Amr ad-Dani (w. 444 H.) daripada mazhab Abu Dawud Sulaiman ibnu Najah (w. 496 H.).
Format awal MSI Rasm Usmani ini adalah berisi 15 baris bukan ayat pojok, atau 1 Juz berisi 9 lembar (18 halaman). MSI Rasm Usmani inilah yang paling banyak dicetak oleh Penerbit Al-Qur’an di Indonesia saat ini, namun dengan format lain, yaitu berisi 15 baris ayat pojok (1 Juz berisi 10 lembar/20 halaman) dan yang terbanyak dengan menggunakan Khat Usman Thaha (Mushaf Madinah) yang dimodifikasi dan disesuaikan dengan sistem penulisan MSI Rasm Usmani, yang meliputi perubahan tulisan ayat, system harakat, tanda baca, dan tanda waqaf.
Selain itu, terdapat juga beberapa mushaf Rasm Usmani yang merupakan tulisan asli para khattat Indonesia, seperti Mushaf At-Tin, Mushaf Jakarta, Mushaf Banten (ketiganya ditulis dengan format 15 baris ayat pojok), dan Mushaf Istiqlal, Mushaf Sundawi, serta Mushaf Jambi (yang ditulis dengan format yang berbeda).
Mushaf Standar Indonesia (MSI) Rasm Usmani ini memiliki beberapa karakteristik umum, yaitu:
1.      Setiap huruf diberikan harakat secara lengkap.
2.      Setiap bacaan hukum tajwid diberikan tanda. Bacaan Idgam ditandakan dengan pemberian syiddah pada huruf idgam. Bacaan Iqlab ditandakan dengan pemberian huruf mim kecil yang diletakkan di antara nun sukun atau tanwid dan huruf iqlab.
3.      Pemberian nun kecil pada lafaz yang tidak bisa terbaca karena terdapat dua huruf yang mati, tanda bacaan imalah, dan tanda bacaan saktah.
4.      Pemberian sifir mustadir (bulat) di atas huruf alif yang harus dibaca pendek baik ketika wasal (terus) maupun waqaf (berhenti).
5.      Pemberian sifir mustatil (lonjong) di atas huruf alif yang harus dibaca pendek ketika wasal (terus), namun harus dibaca panjang ketika waqaf (berhenti).
6.      Pemberian tanda Mad yang dibedakan untuk Mad Wajib Muttasil dan Mad Lazim berupa tanda garis lengkung dengan garis kebawah di awalnya. Sementara untuk bacaan Mad Jaiz Munfasil dan Mad Silah Tawilah berupa tanda garis bergelombang.
7.      Hamzah wasal dan hamzah wasal tidak diberikan tanda apapun, kecuali hamzah qata’ yang berharakat sukun diberikan tanda kepala ain kecil yang diletakkan di atas hamzah qata’ yang sukun.
8.      Pemberian harakat dan sistem tanda baca dalam MSI Rasm Usmani bergantung kepada tanda waqaf. Sehingga hamzah wasal juga akan diberi harakat jika terletak di awal ayat yang tidak terdapat tanda waqaf, atau terdapat waqaf jim, lazim, dan qaf-lam; atau di awal kata yang terletak setelah tanda waqaf jim, lazim, dan qaf-lam. Demikian juga pemberian syiddah pada huruf idgam yang terdapat di awal ayat atau awal kata yang terletak setelah tanda waqaf sad-lam dan lam-alif.  

Mushaf Standar Indonesia (MSI) Ayat Sudut (Bahriyyah)
Mushaf Standar Indonesia Ayat Sudut atau Bahriyyah ditulis menggunakan kaedah rasm imlai, kecuali dalam lafaz-lafaz tertentu yang tetap dengan Rasm Usmani (Rasm Usmani Al-Asasi), seperti lafaz ar-rahman, sa-salah, az-zakah.
Mushaf ini ditulis oleh Khattat Indonesia, KH. Abdur Rozzaq Muhili Jawa Tengah.
Pada awalnya, mushaf ini diperuntukkan untuk para penghafal Al-Qur’an yang sudah terbiasa menggunakan Al-Quran Pojok Menara Kudus (yang disadur dari Al-Qur’an Turki yang dicetak oleh Penerbit Bahriyyah). Karena saat itu, penerbitan Al-Qur’an belum berkembang pesat seperti saat ini. Namun setelah, perbitan Al-Qur’an di Indonesia berkembang cukup pesat, format ayat sudut yang dicetak saat ini yang lebih dominan adalah MSI Rasm Usmani dengan format 15 baris ayat sudut yang sama.
Mushaf Standar Indonesia (MSI) Ayat Sudut (Bahriyyah) Rasm Imlai ini memiliki beberapa karakteristik umum, yaitu:
1.      Seluruh Mad Tabii yang berupa alif ditulis dengan menambahkan alif sesuai dengan kaidah penulisan Bahasa Arab.
2.      Seluruh bacaan Mad Tabii (alif, wawu, dan ya’) tidak diberi sukun.
3.      Bacaan Idgam dan bacaan Iqlab tidak diberikan tanda syiddah dan mim kecil.
4.      Pemberian sifir mustadir (bulat) di atas huruf alif yang harus dibaca pendek baik ketika wasal (terus) maupun waqaf (berhenti) ditambah pada huruf wawu yang tidak terbaca, seperti pada lafaz, ula’ika.
5.      Setiap ya’ sukun di akhir kata tidak diberi titik.
6.      Setiap harakat kasrah yang terletak sebelum ya’ yang tidak bertitik diberikan harakat kasrah berdiri ketika tidak bertemu huruf sukun yang lain.  

Mushaf Standar Indonesia (MSI) Braille
MSI Braille ditulis dengan menggunakan Kode Braille Arab. Kode Braille bukan termasuk bahasa, tetapi tool of literacy (tulis-baca) bagi tunanetra atau orang yang memiliki gangguan penglihatan (visually impaired).
Anatomi Kode Braille Arab terdiri dari Titik Timbul (al-Bariz, al-Nafirah) yang berjumlah 6 titik. Kombinasi dari enam titik tersebut bisa disusun hingga menjadi 63/64 kombinasi titik yang masing-masing mewakili satu huruf atau tanda harakat.

MSI Braille diterbitkan dalam 30 volume/buku, masing-masing buku terdiri dari 1 juz dilengkapi terjemahan Bahasa Indonesia. Berat keseluruhannya mencapai 28 kg (Versi terbitan Wyata Guna Bandung).
Untuk Penamaan Mushaf Braille di dunia terdapat beberapa nama. Musha Braille Indonesia dinamakan “Al-Qur’an Al-Karim bil Kitabah al-’Arabiyyah an-Nafirah”. Sementara Arab Saudi memberi nama “Al-Qur’an Al-Karim bil Khat al-Bariz lil-Makfufin”.

Adapun karakteristik umum MSI Braille dari aspek tulisan, yaitu:
1.      Huruf dan tanda baca tersusun dalam satu baris.
2.      Ditulis dengan mengacu kepada Rasm Usmani, kecuali terhadap kata-kata yang sulit terbaca, maka ditulis sesuai dengan kaidah imlai.
3.      Menggunakan pola transkripsi non-kontraktif (harakat penuh pada setiap huruf yang dibaca pendek, berharakat fathah, kasrah & dammah), dan transkripsi kontraktif (singkat atau harakat tidak penuh pada huruf yang diikuti huruf mad (alif, wawu, & ya), serta pada tanda waqaf, saktah, dan tanda-tanda lainnya).
4.      Penggunaan Tanda Baca berupa harakat isybaiyyah (harakat yang menandakan bacaan panjang untuk fathah, kasrah, dan dammah, serta menggunakan tanda madd wajib dan madd lazim.

Ragam Perbedaan Mushaf di Dunia Islam
Al-Qur’an yang dicetak dan beredar di dunia Islam saat ini memiliki keragaman dalam hal penulisan rasm, sistem harakat, tanda waqaf, tanda baca, dan hal-hal lain seperti pembagian ke dalam juz, hizb, dan manzil, serta cara penghitungan jumlah ayat. Meskipun berbeda dalam hal penulisan, namun dalam hal riwayat bacaan tetap mengacu kepada riwayat bacaan yang mutawatir, yaitu Qiraah Sab’ah (Qiraah Imam Tujuh), Qira’ah Asyarah (Qiraah Imam Sepeluh), dan Qiraah Arba’a Asyar (Qiraah Imam Empatbelas).
Dengan demikian, Al-Qur’an yang dicetak dengan menggunakan bacaan riwayat Hafs dari Imam Asim (bacaan yang diikuti oleh sebagian besar umat Islam saat ini, termasuk bacaan yang berlaku di Indonesia), pasti akan sama dan tidak akan ada perbedaan sedikitpun dalam hal bacaan, meskipun ditulis dengan ragam tulisan yang bermacam-macam. Artinya perbedaan dalam sistem penulisan rasm usmani, sistem harakat, tanda waqaf, dan tanda baca tidak akan berpengaruh terhadap bacaan.
Dalam kaitan ini, Mushaf Standar Indonesia juga memiliki perbedaan sistem penulisan dengan mushaf-mushaf lain di dunia, seperti Mushaf Madinah, Mushaf Libya, Mushaf Turki, Mushaf Bombay, dan lain-lain. Perbedaan-perbedaan tersebut hanya berkisar kepada tiga hal, yaitu sistem penulisan rasm, sistem pemberian harakat, dan sistem pemberian tanda waqaf dan tanda baca.
Perbedaan dalam hal Rasm Usmani misalnya. Mushaf Indonesia pasti akan berbeda dengan Mushaf Madinah, karena perbedaan mazhab Rasm Usmani yang berbeda. Perbedaan Rasm Usmani yang paling banyak adalah dalam hal menetapkan Alif atau membuang Alif. Misalnya dalam Surah Al-Fatihah dan Al-Baqarah 1-16, seperti terlihat dalam mushaf-mushaf berikut:
No
Mushaf Indonesia
(Mushaf Libya-Qalun, Bombay, dan Iran)
Rasm Usmani Mazhab Abu Amr Ad-Dani

Mushaf Madinah
(Riwayat Hafs, Qalun, Warsy, dan Ad-Duri)
Rasm Usmani Mazhab Abu Dawud
1
الصراط
Abu Amr ad-Dani (w. 444 H.) menulis dengan menetapkan Alif dalam keempat lafaz ini. Penjelasannya dikutip oleh An-Naiti dalam  Nasrul Marjan, jilid 1, hal. 106, 111,  dan 112.
الصراط
Menurut Abu Dawud (w. 496 H.) penulisan keenam lafaz ini dengan membuang Alif (Abu Dawud Sulaiman bin Najah, Mukhtasar at-Tabyin li Hija’ at-Tanzil (Madinah, Mujamma’, 1421), juz 2, hal. 89, 97, dan  99.
2
صراط
صراط
3
ابصارهم
ابصرهم
4
غشاوة
غشوة
5
طغيانهم
طغينهم
6
تجارتهم
تجرتهم

Selain perbedaan Rasm Usmani, perbedaan yang sering dijumpai dalam terbitan Al-Qur’an yang ada di dunia Islam saat ini adalah terkait dengan Tanda waqaf. Perbedaan tanda waqaf ini perlu mendapat perhatian, karena masyarakat pada umumnya, ketika mendapati tanda waqaf yang berbeda sering menjadi bingung, mana yang harus diikuti. Seperti perbadaan peletakan tanda waqaf pada QS. Al-Baqarah/2: 34. Berikut ini tabel perbedaan tanda waqaf pada 8 Mushaf Al-Qur’an di dunia:  
Lafaz
Mushaf Libya
Mushaf Tunisia
Mushaf Turki
Mushaf Mesir (Madinah)
Mushaf Indonesia
Mushaf Iran/ Pakistan
فَسَجَدُوا
-
-
-
-
إِبْلِيسَ
-
-
ط
-
قلى
ط
وَاسْتَكْبَرَ
-
-
ز
-
صلى
-
Referensi
Idah al-Waqf wa al-Ibtida’ (Al-Anbari)
I’rabul Qur’an
(Al-Akbari)
Al-Muktafa fi al-Waqf wa al-Ibtida
(Abu Amr Ad-Dani)
I’rabul Qur’an
(Al-Akbari)
Manar al-Huda fi Bayan al-Waqf wa al-Ibtida
(Al-Asymuni)

Dari ketujuh mushaf yang beredar di beberapa negara Islam di atas terdapat beberapa perbedaan penempatan tanda waqaf, yang terdapat pada tiga lafaz. Perbedaan tersebut kesemuanya bisa dirujukkan kepada kitab-kitab yang membahas tentang waqaf dan Ibtida’. Waqaf pada sajadu (Mushaf Libya dan Tunisia), dibenarkan oleh al-Anbari (w. 327 H.) dalam kitab Idah al-Waqf wa al-Ibtida’, meskipun waqafnya gairu tam. Waqaf pada lafaz Iblis (Mushaf Turki, Indonesia, Iran, dan Pakistan), juga dibenarkan menurut Al-Asymuni dalam Manar al-Huda fi Bayan al-Waqf wa al-Ibtida, dan As-Sajawandi dalam ‘Ilal al-Wuquf. Waqaf pada lafaz istakbara (Mushaf Turki, Iran, dan Pakistan) juga dibenarkan menurut al-‘Akbari. Dan tidak waqaf sampai pada akhir ayat (Mushaf Mesir dan Madinah) juga boleh menurut Abu Amr Ad-Dani (w. 444 H/1052 M.) dalam Al-Muktafa fi al-Waqf wa al-Ibtida.
Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan tersebut harus dipahami dengan bijak. Masing-masing Mushaf memiliki keabsahannya sesuai dengan mazhab Rasm dan referensi yang digunakan. Tidak ada yang boleh dianggap paling benar melebihi yang lain.